Strategi dan taktik Islami dalam kehidupan sehari-hari di bidang tauhid, ibadah, akhlak, muamalah, dan siyasah.

Berfokus pada manajemen (ruang lingkup, waktu, finansial, dan mutu), dan penampilan terbaik alami dari karakter ruhani dan jasmani sesuai ajaran Islam.

~ Hamba Allah ~

Al Hambra, Granada, Andalusia, Spanyol - 1001 Inventions: Muslim heritage in our world. Foundation for Science, Technology, and Civilization

Adakah Yang Lebih Baik Dari Hukum Islam?

by Hanina Syahiedah on Thursday, June 2, 2011 at 8:57pm
Pada hari Jumat, 24 Juni 2005 di halaman Masjid Agung Jami, Bireuen NAD, dilaksanakan hukuman cambuk terhadap 15 terhukum atas kasus perjudian. Hukum cambuk ini merupakan yang pertama kali diadakan di Aceh sejak syariat Islam diberlakukan di sana sebagai pelaksanaan dari otonomi daerah yang diberikan kepada provinsi tersebut.


Pelaksanaan hukum cambuk ini mendapatkan berbagai respon. Sebagian besar umat Islam, khususnya masyarakat Aceh, menyambut hangat pelaksanaan hukuman ini. Harapannya, hukuman tersebut dapat menekan tindak kriminal yang makin merajalela saat ini. Sebaliknya, beberapa kalangan lainnya memberikan respon negatif. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), misalnya, menolak eksekusi hukuman cambuk terhadap para pelaku judi di NAD.

Alasannya, hukuman tersebut akan menimbulkan penderitaan besar; bukan saja luka fisik melainkan juga trauma psikologis bagi terpidana dan keluarganya. Elsam juga menuntut agar Komnas HAM segera memantau usaha penegakan hak asasi manusia pada kasus ini dan segera mengeluarkan rekomendasi untuk menolak praktik hukuman cambuk (Republika, 24/6/05).

KH Hasyim Muzadi ikut mempersoalkan pelaksanaan hukum cambuk di NAD itu. Menurutnya, syariat Islam itu inklusif dan tidak eksklusif, sehingga nilai-nilai agama kemasannya adalah kemasan kebangsaan dalam tata hukum yang mengikuti hukum positif nasional....Hukum dalam Islam hanya substansinya yang mutlak, sedangkan bentuknya bersifat alternatif/pilihan. (Kompas, 26/6/05).


Sanksi dalam Islam

Dalam Islam, kejahatan adalah perbuatan tercela (alqabîh), yaitu perbuatan apa saja yang dicela oleh As-Syâri' (Allah), bukan berdasarkan ukuran akal dan hawa nafsu manusia. Syariat telah menetapkan perbuatan tercela sebagai dosa (dzunûb) yang harus dikenai sanksi ('uqûbât).

Sanksi tersebut berfungsi sebagai jawâbir (penebus dosa bagi pelakunya) sekaligus zawajir (pencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama). Perbuatan-perbuatan yang dikenai sanksi adalah tindakan meninggalkan kewajiban (fardhu), mengerjakan keharaman, serta menentang perintah dan melanggar larangan yang pasti dan telah ditetapkan oleh Negara/Khilafah.

Dalam Islam ada 4 (empat) macam sanksi: yaitu:
(1) hudûd;
(2) jinâyât;
(3) ta'zîr, dan
(4) mukhâlafât (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-'Uqûbât, hlm. 17).

Hudûd adalah sanksi yang kadarnya telah ditetapkan oleh syariat bagi suatu tindak kemaksiatan tertentu; ia tidak bisa dikurangi, ditambah, atau diganti; tidak pula pelakunya dapat diberi pengampunan. Pezina ghayra muhshan (bujang/belum kawin), misalnya, harus dihukum cambuk 100 kali berdasarkan firman Allah SWT berikut: "Pezina wanita dan lakilaki, cambuklah masing-masing dengan 100 kali cambukan, dan janganlah kalian menaruh belas kasihan kepada keduanya dalam menjalankan agama Allah." (QS An-Nur [24]: 2).

Demikian pula pencuri; ia harus dipotong tangannya jika nilai harta yang dicurinya telah melampaui kadar tertentu (yakni 1/4 dinar berdasarkan Hadis Nabi saw. [1 dinar = 4,25 gram emas]) sesuai dengan firman Allah SWT berikut: "Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, potonglah masing-masing tangannya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS Al-Maidah [5]: 38).

Beberapa tindakan kemaksiatan lain yang terkategori ke dalam bab hudûd dan wajib dikenai sanksi had adalah: liwath (homoseksual), qadzaf (menuduh berzina), minum khamr, pembegalan, bughât (memberontak terhadap Khalifah yang sah), dan murtad.

Jinâyât adalah sanksi yang berkaitan dengan kasus pelanggaran terhadap badan yang di dalamnya ada kewajiban qishâsh atau harta (diyat). Contohnya adalah qishâsh atau diyat dalam kasus pembunuhan, melukai orang lain, dan berbagai penganiayaan lainnya.

Ta'zîr adalah sanksi yang diberikan kepada pelaku kemaksiatan—melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban syariat—yang tidak termasuk hudûd dan jinâyât. Contohnya adalah melakukan kasus korupsi, memperlihatkan aurat di tempat umum, berjudi, dan sebagainya.

Dalam konteks perjudian, tidak ada perselisihan di kalangan ulama, bahwa judi diharamkan oleh Allah SWT, antara lain berdasarkan Al-Qur'an (QS Al-Maidah [5]: 90-91). Namun demikian, Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW. tidak menyebutkan sanksi bagi para penjudi sehingga sanksi mereka adalah ta'zîr.

Penetapan kadar sanksi ta'zîr asalnya merupakan hak bagi Khalifah berdasarkan ijtihadnya atau mengambil salah satu hasil ijtihad dari para mujtahid. Penetapan sanksi ini mengacu pada keadilan hudûd dan jinâyât; bentuknya diambil dari salah satu bentuk hukuman yang telah ditetapkan dalam Islam.

Sanksi ta'zîr sangat bergantung pada besarnya pelanggaran dengan tetap memperhatikan kadar sanksi hudûd dan jinâyât, yaitu mulai dari hukum penjara, cambuk, diasingkan (nafyu), diisolasi dari komunikasi dengan masyarakat (hijr), disalib, didenda (gharamah), dihancurkan harta/barangnya yang tak berguna seperti peralatan judi dll (itlâf al-mâl), dinasihati (al-wa'zhu), dibatasi haknya atas harta (hurman), ditayangkan pelakunya (tasyhîr) hingga dihukum mati (alqatlu).

Adapun Mukhâlafât adalah sanksi yang ditimpakan kepada mereka yang melanggar perintah dan larangan yang telah ditetapkan oleh Negara/Khilafah yang tidak berkaitan dengan perintah dan larangan Allah secara langsung. Contohnya adalah sanksi bagi pelanggar lalu-lintas, pengendara yang tidak membawa SIM, dan sebagainya.


Meluruskan Opini Miring

Di tengah perjuangan penegakan syariat Islam, pasti ada pihak yang berusaha menggagalkannya. Hal semacam ini tidaklah aneh. Sepanjang sejarah manusia sejak Nabi Adam as. hingga akhir zaman akan selalu terjadi pertentangan antara yang haq dan yang bathil, antara yang prosyariah dan yang anti-syariah.

Banyak argumentasi yang disodorkan untuk mencegah atau meredam perjuangan penegakan syariat Islam secara kâffah. Di antaranya adalah: Pertama, hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan sanksi pidana, bertentangan dengan HAM. Hukum Islam digambarkan sebagai hukum rimba yang mengerikan dan menyeramkan.

Pandangan seperti ini sangat lemah dan sempit karena hanya melihat dari sisi kerasnya sanksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan. Mereka tidak pernah berpikir bahwa kerasnya hukuman akan memberikan efek jera bagi pelakunya dan mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama (yang berarti akan mengurangi tindak kejahatan).

Bandingkan dengan hukum pidana saat ini, yang tidak mampu meredam berbagai tindak kejahatan yang terus-menerus menunjukkan kecenderungan naik. Hukum pidana saat ini juga terbukti gagal sehingga tidak mampu melindungi masyarakat, yang berarti hak masyarakat untuk mendapatkan rasa aman terampas. Maraknya kasus pembunuhan dan pemerkosaan, misalnya, jelas-jelas mengancam rasa aman masyarakat.

Dengan hukum pidana saat ini, masyarakat juga diperlakukan tidak adil. Sebagai contoh, salah satu terpidana kasus BLBI, mantan wakil Presdir Bank Aspac, Hendrawan Haryono, hanya ditahan di LP Cipinang selama 1.5 tahun; padahal negara dirugikan sebesar Rp 583 miliar.

Hendrobudiyanto dan Heru Supraptomo, kedua-duanya mantan direktur BI, juga divonis 1,5 tahun penjara; padahal masing-masing telah merugikan negara sebesar Rp 9.79 triliun dan Rp 6.36 triliun (Republika, 20/06/05). Bandingkan, misalnya, dengan seorang pencuri ayam seharga Rp 20 ribu yang dipenjara 4 bulan.

Jika standarnya ini saja, maka pelaku korupsi Rp 583 miliar seharusnya dihukum jauh lebih berat dari itu. Begitu juga dalam kasus seorang anak pejabat yang terbukti membunuh, dia hanya dihukum penjara 1.7 tahun, sementara dia telah melenyapkan nyawa orang lain yang merupakan hak hidupnya. Padahal dalam Islam, pembunuh wajib dikenai sanksi qishâsh, yaitu harus balas dibunuh, kecuali jika ahli waris korban memaafkannya, maka hukumannya boleh diganti dengan denda (diyat).

Kedua, hukum Islam hanya menyangkut aturan pada lingkup pribadi dan tidak pada level negara. Pandangan seperti ini bertentangan dengan fakta hukum secara umum. Tidak ada satu pun di dunia ini hukum yang tegak dan bersifat mengikat yang tidak dipayungi oleh negara. Kalaupun ada hukum adat yang diberlakukan, itupun sifatnya sangat terbatas; hanya mengikat orang-orang yang berada di areal adat tersebut.

Hukum Islam bersifat komprehensif yang mengatur segala aspek kehidupan, baik dalam lingkup individu, masyarakat, maupun negara. Bahkan keberadaan negara menempati posisi yang sangat menentukan, karena dapat mengikat masyarakat dengan hukum Islam.

Sebagai contoh, tidak mungkin hukum hudûd perzinaan (cambuk dan rajam) atau jinayat qishâsh untuk pembunuhan diserahkan kepada masing-masing individu tanpa ditegakkan oleh negara. Karena itu, pemisahan hukum Islam dari negara hakikatnya merupakan penghancuran terhadap syariat Islam secara nyata. Sebab, tanpa negara, syariat Islam tidak akan pernah tegak secara kâffah.


Kesimpulan

Satu hal yang penting dicatat, hukum Islam akan benar-benar menyelesaikan masalah jika diterapkan secara total. Oleh sebab itu, penerapan hukum Islam dalam perjudian hanyalah secuil dari hukum Islam. Kalaupun setelah itu tetap terjadi kejadian serupa, tidak boleh diartikan bahwa hukum Islam gagal. Hal ini disebabkan hukum Islam belum total diterapkan.

Untuk menyelesaikan masalah perjudian, misalnya, harus diterapkan syariat Islam tentang kewajiban penguasa menjamin kebutuhan pokok, peningkatan keterampilan, penyediaan lapangan kerja, dan distribusi kekayaan; menciptakan lingkungan yang penuh dakwah, menutup pusat-pusat kemaksiatan dan perjudian, serta memberlakukan sanksi bagi siapa saja yang melakukannya.

Karena itu, siapapun sudah seharusnya memberikan dorongan terhadap pelaksanaan syariat Islam secara total; bukan hanya dalam masalah pidana, tetapi juga dalam bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dakwah, politik dan pemerintahan.

Walhasil, yang sejatinya layak dipersoalkan sesungguhnya bukanlah penerapan hukum Islam, tetapi fakta bahwa hukum buatan manusia saat ini telah terbukti gagal total, dan kemaksiatan justru semakin merajalela. Mahasuci Allah dengan firman-Nya:

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?"
(QS Al-Maidah [5] : 50).

Wallâhu a'lam bi ash-shawab.
Adakah Yang Lebih Baik Dari Hukum Islam?
0 Komentar untuk "Adakah Yang Lebih Baik Dari Hukum Islam?"

Back To Top